Kang Asti, 13 Februari 2017
William Wongso, sebagaimana dikutip Bondan Winarno dalam kata pengantarnya di buku 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia, berpendapat bahwa sebetulnya kuliner Indonesia tidak pernah eksis. Yang ada adalah kumpulan kuliner daerah yang dipersatukan dalam kebinekaan Indonesia. Kuliner tradisional bukan saja bersifat provinsial, tapi bahkan sudah bersifat terroir (karakterisitik lokal).
Kiranya William Wingso benar. Kuliner Indonesia memang kumpulan kuliner daerah, yang kebanyakan sangat lokalistik sifatnya. Salah satu contohnya adalah kuliner nasi atau sega pecel yang ada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Bila Madiun populer dengan kuliner pecelnya yang khas, bahkan djuluki ‘Kota Seribu Pecel’, Kabupaten Grobogan juga punya kuliner pecel yang khas, bahkan melegenda, dan juga tak kalah populer.
Sega Pecel Gambringan, begitu kuliner nasi pecel legendaris asal Kabupaten Grobogan itu disebut. Oleh warga Grobogan biasa disingkat dengan SPG. Nama Gambringan sendiri diambil dari tempat asal kuliner ini, yang memang sejak dulu banyak dijajakan di Stasiun Gambringan yang terletak di Desa Tambirejo, Kecamatan Toroh.
Sejak tahun 1940-an, banyak penjual sega pecel Gambringan ditemui menjajakan dagangannya di stasiun atau di atas gerbong kereta api. Namun sejak tahun 2012, peraturan PT KAI tidak lagi membolehkan penjual makanan dan minuman menjajakan dagangannya di atas gerbong atau di dalam stasiun. Akibatnya, banyak pedagang sega pecel Gambringan berjualan ke luar stasiun, meski di antara mereka juga ada yang bertahan berjualan di sekitar stasiun Gambringan.
Peraturan PT KAI itu, di satu sisi memang menjadikan para penjual sega pecel Gambringan kelabakan, karena harus mencari tempat baru untuk menjajakan dagangannya. Namun, di sisi lain, sega pecel Gambringan kini bermetamorfosis menjadi kuliner legendaris yang penuh memorabilia. Ia diburu oleh para pelanggannya yang dulu sering menikmatinya di atas gerbong kereta api.
Kenangan menikmati sega pecel Gambringan di dalam kompleks stasiun atau di atas gerbong kereta api membuncahkan kerinduan tersendiri. Bahkan, mereka yang tak pernah mencicipi kuliner ini di atas gerbong kereta api pun, penasaran dengan kuliner ini. Mereka juga ingin mencicipi kuliner khas yang melegenda dan penuh memorabilia itu.
Niat ingin napak tilas dan melihat eksistensi sega pecel Gambringan langsung ke tempat di mana kuliner ini berasal, membuat saya bertandang ke Stasiun Gambringan pada Senin (13/2/2017). Saya ditemui Pak Supriyanto, pengatur perjalanan kereta api (PPKA) di stasiun tersebut. Pak Supriyanto banyak bercerita tentang sega pecel Gambringan, yang menurutnya, sangat istimewa. Selain enak dan khas, sega pecel Gambringan juga memiliki sisi historis yang tak bisa dilepaskan dari stasiun Gambringan dan kereta api.
Menurut pria asal Rembang itu, kekuatan sega pecel Gambringan terletak pada sambalnya yang enak, sedep, dan pedas namun khas, lain daripada yang lain. Tidak terlalu manis, bahkan cenderung asin, namun proporsi asin-manisnya pas. “Sulit saya menemukan cita rasa pecel yang sedap seperti ini,” tuturnya.
Hal itu di amini oleh Mbak Sopik, penjual sega pecel Gambringan, yang buka lapak di daerah Gendingan, tak jauh dari Stasiun Gambringan. Menurutnya, sambal pecel Gambringan dibuat tanpa penyedap rasa. Cita rasanya murni dari bumbu rempah meliputi kencur, bawang, dan daun jeruk, yang dipadu dengan kacang tanah goreng dan gula merah.
“Kacang dan gula merah paduannya harus pas agar bisa membuahkan cita rasa yang sedep namun tidak terlalu manis,” tutur Mbak Sopik.
Cita rasanya khas, sedep, dan nyamleng…
Adapun sayurannya, menurut Mbak Sopik, yang khas dari sega pecel Gambringan adalah bunga turi dan daun pepaya, dipadu dengan kecambah. Cara penyajiannya juga khas, yakni dengan pincuk daun pisang dengan sendoknya yang juga terbuat dari daun pisang yang lazim disebut suru. Penyajian seperti itu menambah cita rasanya makin sedep dan nyamleng.
“Meski saat ini tak sedikit penjual sega pecel Gambringan yang menyuguhkan dengan piring dan sendok, tapi saya sendiri tetap menjaga penyuguhan yang otentik, yakni secara tradisional menggunakan pincuk daun pisang yang sudah turun-temurun,” tuturnya.
Mbak Sopik merupakan generasi ketiga penjual sega pecel Gambringan. Ia meneruskan usaha neneknya yang juga penjual sega pecel Gambringan di sekira tahun 1970-an.
Saat ini, ada sekira 50-an warga sekitar stasiun Gambringan yang masih bertahan berjualan sega pecel Gambringan. Ia berharap, sega pecel Gambringan terus eksis, karena kuliner ini khas, unik, dan sudah melegenda serta memiliki sejarah yang bertaut dengan sejarah perkeretaapian Indonesia. Sehingga amat sayang bila tidak dilestraikan.* (Kang Asti, www.jatengnyamleng.com)
Penjual sega pecel Gambringan saat ini telah menyebar ke mana- mana, waktu penjualan pun tidak hanya pagi hari atau pun siang hari. Namun malam haripun sudah banyak yang berjualan, disepanjang jalan Solo- Purwodadi banyak penjual nasi pecel Gambringan yang telah mulai eksis, bersaing dengan kuliner yang lain. Bahkan sampai ke luar daerah, salah satunnya ada di Kota Tangerang, semoga semuanya mendapatkan ridha Allah . Aamiin.